Catatan kecil dipertambahan Umur
Hari senin minggu lalu, di pagi ba’da subuh, saya tiba-tiba nggak bisa berdiri tegak. Kepala saya sakit, titik berat tubuh saya seakan berganti-ganti mengikuti condong badan saya, dan bola mata pun nggak bisa saya fokuskan.
Apapun yang saya lihat di depan tampak bergerak-gerak kencang. Rasa sakit itu bahkan membuat saya nggak nyaman dalam posisi duduk ataupun berbaring. Apapun yang saya lakukan, rasa sakit itu nggak berkurang sedikitpun.
Lalu, saya membuka aplikasi messenger di HP. Ada beberapa notifikasi muncul. Beberapa teman dekat saya mengirim ucapan selamat. Saya baru ingat hari itu adalah tanggal 16 maret, ulang tahun saya. Saya kirimkan beberapa pesan balasan, izin dan membatalkan semua agenda hari itu.
Saya tahu saya nggak akan bisa kemana-mana.
Hal terburuk saat sedang sakit adalah, bahwa kamu nggak bisa melakukan apapun. Dan seringkali, istirahat pun bukan hal mudah. Disaat seperti itu, yang pasti terpikirkan adalah seandainya saya bisa sembuh saat itu juga, saya akan menggunakan waktu hari itu dengan sebaik-baiknya. Menggunakan semua kesempatan yang ada dan nggak menyia-nyiakan waktu lagi.
Dan pikiran itu muncul..
Padahal, ketika saya sehat semua kesempatan itu terbentang luas. Waktu, tenaga, dan semua yang saya butuhkan untuk melakukan apapun bisa saya akses dengan mudah. Namun, berapa banyak dari semua kesempatan itu yang akhirnya saya gunakan? Lebih lagi, berapa banyak waktu yang justru saya sia-siakan?
Dan ketika saya lemah dan nggak bisa melakukan apa-apa, hanya bertarung dengan melawan rasa sakit, saya nggak bisa lari dari pikiran itu. Seharusnya saya bisa lebih bersyukur.
Saat saya masih punya waktu dan kesehatan, seharusnya saya bisa lebih banyak berbuat. Karena saya nggak tahu, kapan waktu dan kesempatan itu akan hilang, dan nggak diberikan lagi pada saya.
Tentang sebuah momen..
Akhirnya, pagi itu saya hanya bisa duduk dikasur. Mencoba memposisikan badan agar setidaknya rasa sakit dan pusing bisa seminimal mungkin hadir. Itu berarti saya harus diam. Nggak melakukan apa-apa.
Entah kenapa, saya jadi berpikir, seberapa sering kah saya merasakan kondisi seperti itu: ketenangan. Jauh dari HP, dan nggak ada notifikasi facebook, nggak ada notifikasi email, nggak ada notifikasi twitter, nggak ada notifikasi messenger, nggak ada notifikasi apapun.
Saya hanya berfokus pada kondisi saat itu dan menikmati momen yang ada. Mengamati. Mengobservasi. Berimajinasi.
Kapan kita terakhir kali melakukan itu?
Kapan kita terakhir kali menikmati perjalanan tanpa harus update status atau upload foto? Kapan terakhir kali kita melakukan petualangan tanpa khawatir agar semua orang harus tau? Kapan kita terakhir kali menikmati momen untuk diri sendiri? Untuk hanya dijadikan momen yang spesial dengan orang lain tanpa distraksi?
Kapan terakhir kali kita melakukan perjalanan, melihat langit malam dengan sahabat-sahabat kita, dan berbincang banyak hal tanpa harus direkam dalam akun sosial media? Kapan terakhir kali kita saling berbagi momen itu hanya dengan satu sama lain, dan membiarkan semua kata-kata yang terucap bersatu dengan angin malam dan terbang tinggi menyambut bintang-bintang? Tanpa media sosial. Tanpa internet. Tanpa harus seluruh dunia tahu.
Teknologi memang bisa membuat kita semakin dekat, semakin terhubung. Tapi kadang, teknologi juga membuat kita menjadi semakin lupa. Lupa untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.
Sebuah ketenangan beberapa menit tanpa distraksi sangatlah berharga. Dan kadang kita lupa, betapa kita membutuhkan itu.
Tetang apa yang kita butuhkan..
Saya masih nggak bisa istirahat. Kepala masih terasa sakit apalagi saat saya menutup mata. Saya hanya bisa melihat sekeliling kamar saya dengan perlahan.
Disamping tempat saya duduk, ada sebuah lemari yang khusus menyimpang buku-buku. Saya melihat buku-buku itu dari jauh. Oh ya, saya sangat pemilih dalam membeli buku. Karena menurut saya, buku bukan hanya investasi tapi bagian yang menyatu dalam diri saya. Itulah kenapa, disetiap buku yang saya beli, ada kisah tersendiri didalamnya.
Hal-hal seperti kapan saya membeli buku itu, kenapa saya membelinya, bagaimana perasaan saya saat itu, dan apa yang saya rasakan saat membaca buku itu pertama kali.
Dua meter dari lemari buku, ada meja belajar saya saat ini. Yang juga sudah menjadi meja belajar saya sejak kelas satu SD. Meja belajar ini menjadi saksi dan teman perjalanan saya selama menempuh pendidikan. Dari mulai sekolah dasar sampai, insyaAllah, lulus nanti. Dan kemungkinan, akan saya pergunakan terus selama mungkin.
Saya masih ingat pertama kali saya menggunakan meja belajar ini. Waktu itu, bapak janji akan membelikan saya meja belajar. Saat itu saya berharap agar dibelikan sebuah meja belajar yang bagus, yang bertingkat, yang indah, yang berwarna-warni seperti meja belajar yang ada di iklan-iklan TV.
Namun yang bapak bawa kerumah saat itu adalah sebuah meja belajar warna coklat sederhana, berbahan kayu jati, pijakan kaki, dan dengan 2 laci. Nggak ada yang spesial. Saya sedikit kecewa, dan bilang ke bapak kalau saya ingin yang ada rak buku diatasnya. Tapi kata bapak, meja belajarnya mungkin nggak kelihatan indah, tapi meja ini nyaman dan kuat, dua hal itulah yang terpenting. Kata bapak, saya akan mengerti itu nanti 5 tahun lagi. Sekarang sudah hampir 16 tahun sejak bapak mengatakan itu, dan ia masih benar.
Kadang kita nggak tahu apa yang benar-benar kita butuhkan. Seiring bertambahnya usia, banyaknya pengalaman, kita jadi sedikit lebih tahu apa yang kita inginkan. Tapi tetap saja, kadang hal-hal yang benar-benar kita butuhkan, hal yang benar-benar kita inginkan, sebenarnya sudah ada bersama dengan kita, tapi nggak kita sadari.
Dan kita lupa mensyukuri itu semua.
Tentang Perbedaan..
Akhir-akhir ini, sedang populer tentang isu perkembangan gerakan mahasiswa. Beberapa aktivis dan alumninya menilai bahwa mahasiswa saat ini sedang malas berjuang. Malas membela kepentingan rakyat. Nggak butuh waktu lama sampai pesan ini menjadi populer.
Dan dalam waktu singkat, berbagai respon dan suara berdatangan. Banyak mahasiswa yang berkumpul dan mencoba melakukan sesuatu.
Dan disaat yang sama, banyak pendidik bangsa yang mengatakan hal sebaliknya, bahwa kebanyakan mahasiswa nggak tahu apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan, karena nggak punya konsep.
Saya nggak membahas detilnya, dan saya nggak berpihak, karena masing-masing punya nilai yang diperjuangkan. Dan itulah yang saya pikirkan.
Sebab, masih banyak orang yang menganggap cara yang benar untuk berjuang adalah yang hanya kubu mereka lakukan, yang lain salah.
Beberapa mahasiswa patriotik menganggap bahwa turun ke jalan adalah satu-satunya cara, yang nggak melakukan itu berarti nggak peduli. Ada juga yang menganggap bahwa turun ke sawah langsung membantu petani adalah satu-satunya cara, yang lainnya hanya cari aman dan nggak berani turun ke lapangan. Yang sedang giat menuntut ilmu sampai berhijrah ke negeri orang menganggap bahwa itulah cara berjuang yang benar saat ini, yang lainnya berpikiran kolot dan mediocre.
Tapi, apakah harus seperti itu? Apakah hanya ada satu cara membangun bangsa? Apakah hanya ada satu cara untuk berjuang?
Kalau kita pikirkan lagi, apakah dalam hidup memang selalu hanya ada satu cara yang baik? Nggak. Hidup bukanlah soal ujian pilihan ganda, dimana hanya satu yang benar.
Ada banyak cara untuk bisa berguna, untuk bisa bermanfaat, untuk bisa benar-benar berjuang. Bukankah yang kita semua perjuangkan adalah hal yang sama?
Lebih jauh dari itu, ternyata hal yang sama terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Media dan informasi mencoba memberi tahu kita apa yang disebut orang berhasil. Masing-masing memperlihatkan sosok ideal yang seharusnya kita capai. Dan suara-suara itu selalu ada, berkeliaran disekitar kita, setiap hari, dan menjadi noise..
Suara-suara itulah yang bilang bahwa orang sukses itu kalau sudah lulus harus begini, harus begitu. Harus mencapai ini, harus mencapai itu. Harus bisa mendapatkan ini, mendapatkan itu.
Dan tanpa sadar, pikiran kita hanya dipenuhi oleh noise yang belum tentu benar, apalagi yang belum tentu kita butuhkan. Yang akhirnya membuat kita lupa apa yang penting untuk diri kita. Apa nilai-nilai yang berharga dalam diri kita, cita-cita yang ingin kita capai, dan perjuangan yang ingin kita selesaikan.
Setelah pengalaman-pengalaman hidup kita sebelumnya sudah mengajarkan banyak hal, menjadi seakan sirna hanya karena ingin menjadi sosok seperti yang media perlihatkan. Demi ingin terlihat sebagai “seseorang yang wah”, kita kadang lupa apa yang sebenarnya berarti untuk hidup kita.
Selama itu baik, apa yang salah dengan berbeda?
Satu hari, satu ruang..
Ada banyak hal yang ingin saya coba, petualangan yang ingin saya alami, dan orang-orang yang ingin saya temui. Dan itu berarti akan selalu ada keputusan yang harus saya ambil. Mungkin beberapa keputusan itu salah, tapi mungkin juga sebagian keputusan itu benar. Dan bisa jadi, satu keputusan diantaranya menjadi yang terbaik yang pernah saya ambil.
Tapi itu kalau saya berbuat sesuatu.
Pada akhirnya,
Rasa sakit yang saya alami senin lalu, memberi saya pelajaran berharga. Agar saya bisa menjadi diri yang lebih baik. Bukan hanya untuk diri saya sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang disekitar saya. Untuk orang-orang yang yang saya sayangi, dan untuk orang-orang yang berada dalam hidup saya saat ini.
Pada akhirnya,
Saya kembali disadarkan, bahwa hidup itu seperti masuk ke suatu ruangan ke ruangan yang lainnya. Dan orang-orang yang berada dalam ruangan kita saat itu, adalah yang menjadi bagian dari hidup kita. Mereka berharga. Dan waktu yang ada saat itu nggak akan pernah kembali lagi.